Terpaksa Malam Pertama Diba'an Tidak dilakukan

Terpaksa Malam Pertama Diba’an Tidak dilakukan

Tadi malam, seharusnya masjid di kampung saya memulai diba’an hari pertama. Memasuki bulan Maulud (Rabiul Awal), kampung saya selalu melaksanakan diba’an. Ada 2 tempat. Yaitu di Masjid Nahjul Falah, dan Musholla Nur Yasin. Keduanya ada di kampung saya.

Tidak hanya kampung saya. Hampir seluruh kampung di desa Grabag melaksankan diba’an. Mayorita warga kami adalah warga Nahdatul Ulama (NU). Ada yang melaksanakan hingga tanggal 12 Rabiul Awal saja, dan ada yang melaksanakan diba’an selama 30 hari full di bulan Rabiul Awal.

Apa itu diba’?

Sebentar. Saya akan jelaskan sedikit nanti. Tapi biarkan saya menerangkan kenapa malam diba’an pertama tidak dilaksanakan.

Diba’an hari pertama ini tidak dilaksankan karena ada warga kami yang meninggal dunia sekitar jam 17.00 WIB. Praktis ba’da sholat Maghrib, kami semua terfokus ke shohibul musibah. Mulai dari menyiapkan sampai dengan pemberangkatan jenazah. Ini semua selesai sekita jam 21.00 WIB lebih sedikit. Itulah alasannya.

Musholla Nur Yasin memang kemudian melaksankan diba’an, walau tidak secara utuh. Tapi masjid tempat saya biasa berjamaah memilih tidak melaksanakan. Mengingat hari sudah terlalu malam, dan juga menghormati warga kami yang sedang kesusahan.

Apa itu diba’an ?

Diba’an adalah tradisi membaca atau melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang dilakukan oleh masyarakat NU. Pembacaaan shalawat dilakukan bersama secara bergantian.

Mengutip dari emka.web.id, Ada bagian dibaca biasa, namun pada bagian-bagian lain lebih banyak menggunakan lagu. Istilah diba’an mengacu pada kitab berisi syair pujian karya al-Imam al-Jaliil as-Sayyid as-Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ad-Diba’iy asy-Syaibani az-Zubaidi al-Hasaniy.

Kitab tersebut secara populer dikenal dengan nama kitab Maulid Diba’. Pembacaan syair-syair pujian ini biasanya dilakukan pada bulan maulud (Rabiul Awal) sebagai rangkaian peringatan maulid Nabi.

Di sejumlah desa di Jawa, pembacaan syair maulid dilakukan setiap minggu secara bergilir dari rumah ke rumah. Seperti halnya pembacaan kitab al-Barzanji, al-Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, pembacaan Diba’ atau biasa disebut diba’an juga dilakukan saat hajatan kelahiran anak, pernikahan, khitanan, tingkeban, ketika menghadapi kesulitan dan musibah, atau untuk memenuhi nazar.

Kitab Diba’ adalah salah satu dari sekian banyak kitab klasik yang tidak masuk di dalam pengajaran pesantren, namun akrab dan populer digunakan oleh masyarakat pesantren.

Tentang Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ad-Diba’iy

Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ad-Diba’iy lahir pada hari ke-4 bulan Muharram tahun 866 H dan wafat hari Jumat 12 Rajab tahun 944 H.

Dia adalah seorang ulama hadits terkemuka dan mencapai tingkatan hafidz dalam ilmu hadits, yaitu seorang yang menghafal 100.000 hadits lengkap dengan sanadnya. Selain ahli ilmu hadis, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ad-Diba’iy juga seorang muarrikh atau ahli sejarah. Beberapa di antara sekian banyak kitab karangannya ialah Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul, Qurratul ‘Uyun fi Akhbaril Yaman al-Maimun, Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid, dan lain-lain.

Sasaran Kritik kaum puritan

Tradisi membaca syair pujian dari kitab Maulid Diba’ ini (selain al-Barzanji dan al-Burdah) adalah salah satu tradisi yang menjadi sasaran kritik kaum puritan. Kaum puritan menolak peringatan maulid apalagi disertai dengan ritual-ritual pembacaan puji-pujian. Mereka menganggap peringatan maulid yang dilakukan dengan cara membaca kitab-kitab tersebut adalah perbuatan bid’ah.

Selain dianggap tidak dicontohkan oleh Nabi, kaum puritan juga menganggap isi atau apa yang dibaca dalam tradisi diba’an adalah kisah-kisah palsu dan pujian berlebihan sehingga merupakan syirik.

Di tengah acara diba’an atau berzanjen ada ritual berdiri atau yang populer disebut dengan istilah “srakalan” atau “marhabanan” yakni ketika pembacaan kitab sampai pada kalimat “Asyaraqal badru ‘alaina”. Pada saat ini semua hadirin berdiri. Perkara berdiri pada saat seperti ini pernah dibahas dalam Muktamar NU, yakni pada Muktamar NU ke V tahun 1930 di Pekalongan. Batsul masail pada muktamar ini memutuskan bahwa berdiri ketika berzanjen/diba’an hukumnya sunnah, termasuk ‘uruf syar’i.

Kitab Diba’ ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah: Al-Qawl al-Badi’ fi tarjamah al-Maulid ad-Dibai, merupakan terjemahan ke dalam bahasa Jawa oleh Ahmad Fauzan bin Muhammad al-Rabani, diterbitkan oleh al-Munawar Semarang. Qathr al-Marba’wa Nayl al-Arb, tarjamah Maulid ad-Diba’wa maulid al-‘Azab, merupakan terjemahan bahasa Jawa oleh H. Ahmad Subki Masyhari diterbitkan Hasyim Putra, Semarang.

Ada juga Yaqulu ad-Da’i tarjamah Al-Maulid ad-Diba’i, terjemahan bahasa Jawa oleh KH Misbah bin Zain al-Musthafam penerbit Al-Ihsan, Surabaya. Al-Maulid ad-Diba’i; Diba’an Arab Latin beserta Terjemahannya, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Badlowi Syamsuri, Penerbit Apollo Surabaya; Tarjamah Maulid ad-Dibay oleh H. Abdullah Shonhaji, Penerbit Al-Munawar. (Sumber: Ensiklopedia NU)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.