Sinopsis Drama Korea My Only One Episode 99-100 Part 7
|Wang Dae Ryook memasuki kamarnya dengan kesal. Ia merasa tidak sependapat dengan orang tuanya, walaupun yang mereka katakan juga tidak salah. Tiba-tiba, masuk neneknya.
“Nenek…”
“Duduklah…” sahut neneknya, “Dae Ryook. Nenek mendengar perbincangan di ruang keluarga. Apakah begitu sulit melupakan Do Ran?”
“Nenek… Aku butuh bantuan Nenek. Bicaralah dengan Ibu dan Ayah. Do Ran sedang amat kesulitan. Aku harus menemaninya.”
“Dae Ryook. Nenek tahu benar bagaimana perasaanmu. Nenek kasihan kepada Do Ran dan mau bersamanya. Tapi… Dae Ryook, Jika kamu melakukan ini, ini akan tambah berat baginya. Kalian juga tidak akan rujuk.”
“Lantas, Nek, bantu kami rujuk.”
“Astaga…! Dae Ryook. Jika itu memungkinkan, kenapa ayahmu membuatmu menceraikan Do Ran? Astaga. Kita harus bagaimana?”
“Nek..”
“Malangnya kamu… Astaga…”
***
Sementara, di rumah sakit, sambil duduk menunggui ayahnya, Do Ran terngiang dengan perkataan Da Ya. Bahwa ayahnya, yang terbaring di depannya, adalah pembunuh ayah Da Ya. Tidak mungkin bisa menjadi paman Da Ya.
“Dia mau menebus kesalahannya karena sudah membunuh ayahku, jadi, dia menawarkan levernya ke Kak Go Rae. Tapi apa memberikan levernya menghapus fakta bahwa dia membunuh ayahku?” itu yang dikatakan Da Ya kepada bibinya saat itu.
Kim Do Ran menghela napas panjang, “Ayah. Tae Pung dan aku membuat dan menjual roti hari ini. Kami mengikuti resep Ayah dan bekerja keras, tapi rasanya pasti berbeda. Kami pelan-pelan kehilangan pelanggan. Orang terus bertanya kapan Ayah akan kembali. Saat kami membagikan roti gratis, para tunawisma pun bertanya. Ayah sungguh populer. Orang-orang merindukan roti yang Ayah buat. Jadi, Ayah, segeralah bangun. Ya? Ayah….”
***
Dengan gembira, So Yang Ja, masuk ke rumah besannya.
“Bu Na…! Mi Ran…! Go Rae…!” teriaknya sambil celingak-celinguk.
“Di mana semua orang?”
Tiba-tiba ia kaget saat melihat ke meja. Ia melihat sesuatu yang bersinar. Ternyata … itu sebuah labu yang besar.
“Astaga…! Apa itu?”
“Astaga…! Ya ampun. Lihat ini. Aku tidak pernah melihat labu sebesar dan sebersinar ini. Ini tidak bisa dipercaya.” Ia berjalan mendekatinya. Saat akan memegangnya, tiba-tiba labu itu terbang …
“Hei, astaga. Labu, kamu mau ke mana? Kamu mau ke mana? Kembali.”
Ia membuka mata, kemudian duduk. Ternyata … mimpi. Haha
“Ada apa?” tanya adiknya yang ikutan terbangun.
“Yang Soon. Kakak rasa Mi Ran hamil.”
“Omong kosong macam apa yang Kakak bicarakan?”
“Astaga…! Bisakah labu semacam itu bahkan ada di mimpi? Kakak tidak pernah melihat labu sebesar itu. Kakak bersumpah itu mimpi bayi Mi Ran. Kakak tidak percaya ini. Astaga… Labu…” teriak Yang Ja yang kelihatan senang sekali. Yang Soon hanya memandangi kakaknya.
***
“Ada apa?” tanya Hong Shil melihat Hong Ju seperti ingin muntah saat akan meminum kopi pagi itu.
“Sudah kakak bilang jangan minum kopi dahulu.”
“Ada apa denganku? Apa sakit perut? Aku merasa mual dan perutku tidak enak.” kata Hong Joo bertanya-tanya.
“Sakit perut tidak bertahan selama itu. Tidak, Hong Joo. Apa kamu…”
“Kenapa kak?”
“Ibu meninggal karena kanker perut. Mari pergi ke dokter sekarang. Ayo…” kata Hong Shil seraya mendekati adiknya.
“Tidak apa-apa. Nanti sembuh sendiri.”
“Kamu sudah lumayan lama mual-mual. Kita harus melakukan sesuatu. Kita pergi sekarang. Ayo…”
“Kak… Aku baik-baik saja.”
Kakaknya tidak menggubris dan langsung menyeret Hong Joo.
“Dokter bilang apa tadi? Dia hamil?” tanya Hong Shil terkejut.
“Ya, aku yakin itu. Temuilah dokter kandungan agar lebih pasti.” Hong Joo juga kaget… tapi ia kelihatan senang.
“Lihat di sini. Ini uterus dan titik putihnya adalah bayinya.”
“Apa itu… Itu sungguh bayi?”
“Ya. Akan kubiarkan Anda mendengar detak jantungnya.”
“Apa itu sungguh detak jantung bayinya?”
“Ya, berdetak dengan baik dengan ritme reguler dan bayinya tampak sehat.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Aku tidak percaya ini. Aku akan punya bayi. Ada bayi yang bertumbuh di dalamku.” Hong Joo benar-benar merasa bahagia.
“Hong Joo.”
“Apa kak?”
“Apa kamu akan merawat bayinya?”
“Kakak khawatir karena aku tua? Aku harus merawatnya.”
“Hong Joo. Dengarkan baik-baik. Kakak tidak akan bilang begini jika ayahnya orang lain. Tapi kamu tahu siapa Pak Kang. Kamu mau bayimu hidup seperti Do Ran? Sebagai anak pembunuh?”
“Kak…”
“Maaf sudah bilang begini dan bukannya menyelamatimu. Tapi kakak akan bilang begitu sebagai kakakmu. Jangan bilang siapa-siapa dahulu agar kita bisa mempertimbangkannya….”
“Tidak, Kak. Aku akan merawat bayi ini. Jadi, jangan bilang hal buruk begitu lagi.”
***
“Ibu, ada yang tidak beres?” tanya Go Rae saat melihat ibunya seperti memikirkan sesuatu.
Agak kaget ibunya buru-buru menjawab, “Apa? Semua baik-baik saja.”
Tiba-tiba So Yang Ja masuk.
“Astaga. Kamu juga di sini…” katanya sambil tertawa senang.
“Selamat, Go Rae.”
Mi Ran langsung menyahut, “Ibu bersikap konyol. Dia sudah lama dioperasi.”
“Kamu kira ini soal operasi? Saat kamu punya bayi yang sama persis denganmu, itu akan menggemaskan. Membayangkannya saja membuat ibu amat bersemangat..”
“Ibu.”
“Apa?”
“Apa maksud Ibu?”
“Bu Na. Kurasa Mi Ran hamil.”
Hong Shil bengong, “Tidak, aku yakin.”
“Mi Ran…”
“Ibu.”
“Apa?”
“Tidak.”
“Kamu hamil. Kamu tidak tahu, tapi ibu tahu. Mari kita pergi ke dokter kandungan nanti.” kata Yang Ja.
“Ibu salah. Bagaimana bisa aku tidak tahu?” tanya Mi Ran.
“Kamu yakin tidak hamil?”
“Ya… Ada apa dengan Ibu?”
“Kenapa tiba-tiba menyebutkan bayi? Mi Ran yakin kamu salah.” kata Hong Shil.
“Lantas, mimpi bayi siapa itu? Dalam mimpiku, aku pergi ke rumahmu. Di ruang keluarga, aku menemukan labu emas yang besar dan berkilau. Itu amat besar dan berkilau. Aku hampir terbutakan. Itu mimpi soal seseorang yang akan menjadi terkenal.”
“Aku tidak percaya dia mendapatkan mimpi bayi. Dia memimpikan bayi Hong Joo.” kata Hong Shil dalam hati.
“Aneh. Kamu yakin tidak hamil?” tanya Yang Ja lagi pada Mi Ran.
“Iyaa…”
“Aneh sekali. Jika bukan mimpi soal kamu, soal siapa itu? Siapa lagi di rumah itu yang mungkin hamil? Apa kamu?”
“Apa? Aku?” tanya Hong Shil terkejut.
“Aku hanya bercanda. Kenapa kamu amat terkejut?” kata Yang Ja sambil tertawa.
“Ibu, itu mimpi bodoh.”
“Itu bukan mimpi bodoh. Itu soal bayi. Tunggu… Apa menurutmu Do Ran hamil?”
***
“Pak Kang… Sayang… Maukah kamu bangun sekarang? Kamu mendengarku? Ada yang mau kusampaikan. Kamu harus bangun sekarang. Kumohon…”
“Rekaman persidangan dan detail yang Anda minta.”
“Terima kasih.”
“Anda akan melihat beberapa hal tidak masuk akal. Pertama, tersangka terus bilang dia tidak ingat kejadiannya. Di lokasi penyelidikan, tersangka mereka ulang situasi sebelum pembunuhan, tapi gagal melakukannya pada momen pembunuhan terjadi. Dia mungkin berpura-pura tidak ingat. Tapi anehnya, sidik jari dua orang ditemukan di pisau, tapi hanya Kim Young Hoon yang menjadi tersangka.”
“Sidik jari dua orang?” tanya Dae Ryook.
“Ya. Sidik jari Kim Young Hoon dan Yang Young Dal, saksi. Tapi Yang Young Dal tidak pernah dicurigai.”
“Bagaimana itu bisa terjadi?”tanya lagi Dae Ryook
“Karena itulah aneh. Kurasa ada saksi lain.”
“Saksi lain?”
“Ya. Wanita yang bekerja di perusahaan Yang Young Dal. Kesaksiannya memainkan peranan krusial. Tapi kesaksiannya juga membuatku bertanya. Kesaksian keduanya berbeda dari yang pertama. Pada pernyataan pertama, dia bilang Kim Young Hoon membawa pisau dan mengancam mereka. Tapi setelah dia dengar soal sidik jari, dia mengubah kesaksiannya dan bilang Kim Young Hoon mengancamnya dengan pisau yang mereka punya di kantor.”
“Dia mengubah kesaksiannya? Kenapa?”
“Kasus ini ditutup 30 tahun lalu. Walaupun polisi menyelidiki ulang kasusnya, mereka tidak akan menemukan saksi lain atau mengubah tuduhan. Aku tidak tahu kenapa Anda menyelidiki kasus ini, tapi tidak akan ada yang berubah kecuali saksi mengubah kesaksiannya.”
“Terima kasih. Ini akan amat membantuku.” kata Dae Ryook, sambil membuka-buka dokumen itu.
“Tidak perlu sungkan.”
***
“Do Ran kini di rumah sakit.” kata Tae Pung saat melihat siapa yang datang.
“Aku tahu. Aku kemari bukan untuk menemuinya. Aku mau menanyakan sesuatu kepadamu.”
“Kepadaku?”
“Kamu tahu pria tunawisma yang membersihkan gang?”
“Ya.”
“Apa kamu melihatnya hari ini?” tanya Dae Ryook.
“Tidak, aku sudah tidak melihatnya selama beberapa hari. Kenapa kamu bertanya?”
“Kapan dia biasanya kemari? Di mana dia biasanya tinggal?”
“Dia biasanya berada di lorong bawah tanah dekat sini. Tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana. Kenapa kamu bertanya?”
“Ini penting. Jika kamu melihatnya lagi, tolong hubungi aku. Aku harus menemuinya. Kumohon.” kata Dae Ryook sambil menyerahkan kartu namanya.
“Baik. Akan kulakukan itu.”
“Aku permisi.”
“Tunggu.”
“Bukan apa-apa. Aku akan menghubungimu.”
“Terima kasih.”
Dae Ryook pergi meninggalkan toko. Ia mendatangi lorong yang dimaksud Tae Pung. Tapi ia tidak menemukan orang tua itu.
***
Do Ran berjalan di lorong rumah sakit. Tiba-tiba, langkahnya dihentikan 2 orang ibu.
“Permisi.”
“Ya?”
“Maaf, tapi bisakah kamu pindah ke rumah sakit lain?”
“Apa maksud kalian?” tanya Do Ran heran.
“Kami dengar ayahmu pembunuh. Kami tidak bisa membiarkan pembunuh berada di rumah sakit dengan banyak orang.”
“Putraku akan berada di sini untuk sementara waktu. Kami takut berada di sini karena ayahmu. Kami tidak bisa pindah rumah sakit karena dia. Jika ayahmu pindah, kami akan tenang.”
“Mantan napi tidak boleh berada di rumah sakit?”
“Apa yang begitu sulit dipahami? Orang-orang di sini tidak nyaman. Mereka bilang mereka takut.”
“Benar. Ayahku mantan napi. Tapi kini dia koma. Memangnya kalian kira dia bisa apa?”
Ribut-ribut ini membuat banyak orang keluar dari kamar. Termasuk Hong Shil.
“Apa yang ayahku pernah lakukan kepada kalian? Kalian tidak bisa menyuruh kami pindah. Apa ayahku membuat kalian risi?” nada Do Ran mulai meninggi. Matanya juga berkaca-kaca.
“Astaga…” hanya ini yang emak-emak itu katakan.
“Ayahku tidak sadarkan diri karena menyumbangkan levernya untuk menyelamatkan nyawa orang. Dia kini nyaris tidak bisa bernapas. Bagaimana bisa kamu bilang begitu kepadanya. Kalian mau melihat ayahku melakukan apa lagi? Pembunuh sebaiknya mati seperti ini saja? Itu yang kalian inginkan?” Do Ran sampai berteriak keras. Lalu bergegas pergi.
“Astaga. Buah tidak jatuh dari pohonnya. Kamu lihat matanya?” orang itu masih di luar.
Di dalam kamar, Do Ran masih mendengar orang-orang itu membicarakan ayahnya, dan bagaimana mereka takut.
“Ayah. Aku tahu Ayah sengaja tidak bangun. Ayah, aku tahu Ayah sudah melalui banyak hal. Tidak peduli apa pun yang Ayah lakukan, tidak peduli betapa beratnya bagi Ayah untuk memulai kembali, Ayah tidak bisa meninggalkan masa lalu. Itu alasan Ayah tidak mau bangun.”
Do Ran menyeka air matanya, “Ayah, aku baik-baik saja. Ayah boleh pergi jika mau. Jangan cemaskan aku. Walaupun Ayah pergi seperti ini, aku tidak akan membenci Ayah. Ayah bisa berbuat sesuka hati Ayah. Ayah boleh pergi seperti ini. Pergilah ke tempat Ayah merasa nyaman. Mari akhirnya semuanya di sini.” sampai di sini, tangis Do Ran pecah. Ia menangis terisak-isak.
***
Di mobilnya, Dae Ryook masih membolak-balik dokumen yang ia dapat dari sunbae-nya. Ia masih ingat perkataan sunbaenya, “Pertama, tersangka terus bilang dia tidak ingat kejadiannya. Sidik jari dua orang ditemukan di pisau, tapi hanya Kim Young Hoon yang menjadi tersangka. Wanita yang bekerja di perusahaan Yang Young Dal. Kesaksian keduanya berbeda dari yang pertama. Dia mengubah kesaksiannya.”
Wang Dae Ryook berpikir keras.
“Kurasa ini… Ini aneh.”
Ia segera memasang sabuk pengaman, dan melaju menuju kembali ke rumah sakit. Ia pikir, Do Ran harus tahu ini.
“Do Ran!”
Dae Ryook mengejar Do Ran. Akhirnya, ia bisa mengejarnya sampai di luar.
“Do Ran.” panggilnya.
Kim Do Ran menoleh. Terlihat sekali, ia berjalan sambil menangis. Melihat mantan suaminya, Do Ran langsung menghampiri.
“Dae Ryook…. Aku tidak bisa melakukan ini lagi…. Apa yang kini harus kulakukan? Tidak peduli Ayah berbuat apa, kejahatannya tidak pernah pergi. Apa pun yang dia lakukan, dia akan dikutuk seumur hidupnya. Jadi, aku… Aku menyuruh Ayah pergi jika itu yang dia inginkan…” kata Do Ran sambil terus menangis.
Wang Dae Ryook berusaha menenangkannya, “Do Ran. Sadarlah…”
“Do Ran… Dengarkan aku. Ayah… maksudku, Ayahmu… Kurasa dia dijebak atas pembunuhan.
“Dia dijebak? Ayahku??” Do Ran sungguh terkejut mendengar ini.