Na Hong Shil, ibu Go Rae dan Da Ya, bertemu dengan 4 sahabatnya, termasuk Mak Lampir, untuk makan bersama.
“Aku turut senang, Hong Shil. Hatiku hancur saat kudengar putramu menderita sirosis lever tahap akhir. Syukurlah dia kini baik-baik saja. Bagaimana jika pria itu tidak menyumbangkan levernya? Membayangkannya saja membuat jantungku berhenti. Pasti lebih buruk bagimu…”
Hong Shil menjawab sambil menghela nafas, “Itu amat buruk sampai seolah-olah dunia akan hancur. Mataku berair saat melihatnya sekarang.”
“Omong-omong, pria itu amat berani. Tidak mudah memberikan lever ke orang lain, tapi dia sukarela melakukannya. Untunglah.”
“Aku juga amat bersyukur.” tukas Hong Shil.
“Apa Go Rae masih belum tahu Pak Kang koma?” Mak Lampir ikutan.
“Tentu saja tidak tahu. Dia tidak boleh tahu. Dia dalam proses pemulihan. Itu bisa membuatnya syok. Jangan menyebutkan apa pun di depannya saat kamu menjenguknya nanti, ya?”
“Tidak akan.” jawab mereka hampir berbarengan.
“Baik. Mari cepat makan dan kunjungi dia. Kamu mau makan apa? Aku mau bubur berpugasan daging kepiting. Dae Ryook bilang itu amat populer belakangan. Kamu mau memesan apa, Hong Shil?” tanya Mak Lampir.
“Aku mau bibimbap tiram karena tiram sedang musim.”
“Bagaimana jika kita memesan beragam hidangan dan berbagi bersama?”
“Baik. Mari lakukan itu.”
“Ini enak. Cobalah ini.”
“Aku benar, kan? Aku mau membungkuskan ini untuk Go Rae dan istrinya.” kata Mak Lampir.
“Terima kasih, Eun Young.” kata Hong Shil. Eun Yong adalah nama mak Lampir.
“Omong-omong, Eun Young, putramu pasti banyak pikiran karena mantan ayah mertuanya tidak sadarkan diri di rumah sakit seperti itu.”
“Aku tahu. Jika dia terus melihat mantan istrinya…”
“Memangnya kenapa? Apa yang kamu bayangkan? Dia mengencani putri pemilik Grup JS.” sela Mak Lampir.
“Apa? Pemilik Grup JS?”
“Ya. Santap saja makanan kalian.” mak Lampir jadi kesal
***
“Bukankah dia putramu, Eun Young?”
“Itu sungguh dia. Mungkin dia kemari untuk mengunjungi Go Rae. Dia mengunjungi bangsal Go Rae waktu itu. Dia tidak perlu datang lagi jika amat sibuk. Tapi kenapa dia lewat sana? Bangsal Go Rae di sebelah sini.” kata Hong Shil.
“Apa dia menjenguk mantan ayah mertuanya?”
“Bukan itu.” cepat ia menyahut, “Dia pasti kemari untuk menjenguk orang lain yang dia kenal. Aku sebaiknya bertanya kepadanya. Kalian pergilah lebih dahulu. Aku akan segera menyusul.
“Baik kalau begitu.”
Sambil berjalan mengejar Dae Ryook, mak Lampir menggerutu, “Berandal ini tidak tertolong. Hei, Dae Ryook!”
“Ibu.”
“Kamu sedang apa di sini?”
“Ya…”
“Apa itu?” tanya mak Lampir melihat bawaan anaknya, “Kamu kemari untuk memberikan sushi itu ke Do Ran Benarkah?”
“Ya.”
“Apa?!! Ya?? Kamu … tidak bisa dipercaya.”
Mak Lampir merebutnya dan langsung membuangnya ke tempat sampah yang ada di situ.
Dae Ryook kaget, “Apa yang Ibu lakukan?!”
“Itu yang ingin ibu tanyakan. Apa dia memintamu membelikannya sushi? Apa dia menempel, memintamu membelikannya sesuatu?” tanya Mak Lampir
“Bagaimana bisa Ibu bilang begitu? Itu tidak benar. Aku melakukan ini karena ingin. Di samping itu, Ibu tahu kondisinya. Dia melalui masa-masa sulit karena ayahnya. Aku bisa berbuat sebanyak ini.”
“Dia bukan mertuamu lagi. Kamu sudah bercerai, jadi, kenapa memedulikannya? Ikutlah dengan ibu.” katanya sambil menyambar tangan anaknya.
“Ibu…” kata Dae Ryook sambil berusaha melepaskan.
Melihat ini, mak Lampir mengancam, “Jika kamu tidak mengikuti ibu, ibu akan langsung menemuinya. Ibu akan pergi dan memberinya pelajaran.”
Dae Ryook tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ibunya tak pernah menggertak. Terpaksa ia mengikuti ibunya.
***
“Apakah ucapan ibumu benar?” tanya ayah.
“Tidak perlu bertanya. Itu benar. Dia bersama mantannya semalaman dan membelikannya sushi. Dia benar-benar sudah gila.” mak Lampir sewot berat.
“Ayah. Ayah juga tahu kondisi Do Ran. Ayahnya belum sadarkan diri. Tapi setiap kali Nenek kambuh, Do Ran kemari untuk mengurus Nenek. Aku hanya mau membelikannya makanan untuk menghiburnya.” jawab Dae Ryook.
Ayahnya mengangguk-angguk, “Kalian pernah menikah, jadi, sudah sewajarnya kamu mengkhawatirkannya. Tapi seharusnya cukup sampai di situ…”
“Ayah …”
“Dengan banyak hal yang harus diurusnya, dia tidak lupa mengurus nenekmu. Ayah sungguh bersyukur dan harus membayarnya, tapi itu bukan tugasmu. Jadi, berhentilah mengunjunginya mulai sekarang. Ayah akan menemuinya sendiri dan membayarnya. Paham?” sampai di sini, suara ayahnya agak keras terdengar.
“Bagaimana bisa Ayah bilang begitu? Benar, aku tahu tidak seharusnya ke sana. Tapi kini dia membutuhkanku. Ayahnya mungkin mati. Bayangkan betapa takut dan pusingnya dia. Ayah mau aku menjauh darinya? Apa yang akan Ayah lakukan jika menjadi aku? Akankah Ayah cuek terhadap Ibu?”
“Dae Ryook…”
“Sadarlah, Dae Ryook,” ibunya menyela, “Kamu sudah bercerai. Kamu tidak ada urusan dengan Do Ran. Apa dia memohon kepadamu untuk tinggal di sisinya?”
“Bukan begitu…. Aku hanya mau berada di sisinya setidaknya untuk sementara ini. Setidaknya sampai ayahnya sadar. Tolong pahamilah…” kata Dae Ryook.
“Ayah tidak bisa membiarkannya!”
“Ayah…”
“Ada hal yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan. Kamu kira kamu mendukungnya, tapi itu kesalahpahaman besar. Do Ran pasti merasa risi. Kondisinya sudah berat baginya. Jika kamu menggoyahkannya, dia akan makin bingung dan pusing. Berhentilah mengunjunginya demi kebaikan dia. Begitulah yang benar!” kata ayahnya tegas, dan beranjak dari situ.
“Ayah…”
“Camkan kata-kata ayahmu, Dae Ryook! Jangan mencampuri urusannya. Bagaimana jika kamu terlalu sering ke sana dan tersebar rumor? Kamu putra sulung keluarga kita. Camkan itu!” mak Lampir tak kalah sengit.
“Biarkan aku menangani urusanku sendiri.” jawab Dae Ryook pelan seraya pergi.
“Tapi kamu tidak menanganinya dengan baik!” ibunya berteriak keras. Hingga Nyonya Park keluar dari kamarnya.
“Apa itu?” tanyanya.
Mak Lampir tidak menjawab.