Sinopsis Drama Korea My Only One Episode 101-102 Part 1
|“Dia dijebak? Ayahku? Dae Ryook. Apa maksudmu?” tanya Do Ran.
“Aku juga tidak yakin. Aku ragu apa harus memberitahumu. Tapi kurasa kamu harus tahu.”
“Do Ran. Pria tunawisma itu adalah saksi kasus ayahmu. Dia saksinya.”
“Saksi mata? Saksi?” tanya Do Ran masih tidak menyangka.
“Dahulu, ayahmu… Saat insiden itu terjadi, ayahmu kehilangan ingatan. Jadi, dia menanyakan insiden itu ke pria itu. Ayahmu bertanya kepadanya apa dia sungguh melihat ayahmu membunuh.”
“Jadi, ayahku tidak ingat momen itu? Lantas, bagaimana dia menjadi pembunuh?” tanya Do Ran
“Ayahmu kehilangan ingatannya. Walaupun tidak ingat, setelah pergumulan antara ayahmu dan ayahnya Da Ya, ayahnya Da Ya tewas. Itulah alasan ayahmu dituduh sebagai pembunuh.”
“Ayahku sungguh bilang begitu? Tapi kenapa dia tidak bilang apa pun kepadaku?”
“Karena dia tidak ingat apa-apa. Mungkin itu tidak mudah dikatakan. Kukira dia kehilangan ingatan setelah syok. Tapi pria tunawisma yang datang ke IGD terus meminta maaf.”
“Itu tidak terasa benar.” kata Do Ran sambil terisak.
“Pak Kang bersikeras dia tidak ingat. Pisau yang dijadikan barang bukti mengandung dua sidik jari. Tapi hanya Ayah yang dijadikan tersangka. Itu tidak mungkin benar. Wanita dari kantor pinjaman yang merupakan saksi mata lainnya, punya kesaksian bertentangan. Pertama dia bilang Pak Kang mengancamnya dengan pisau. Tapi saat dikatakan ada sidik jari pria itu, dia mengubah kisahnya dan bilang pisau itu milik mereka.” lanjut Dae Ryook.
“Aku tidak percaya ini. Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Aku harus menemukannya dahulu dan menanyakannya secara mendetail.”
“Ayo kita cari dia. Biar kubantu mencarinya.” kata Do Ran. Ia seperti mendapatkan air segar dari dahaga. Ada harapan yang muncul kembali dalam dirinya.
“Baik. Kita cari dia.”
***
“Astaga. Apa sungguh ada bayi yang tumbuh di tubuhku? Nak, ibu akan melindungimu.”
Telpon Hong Joo berdering. Dilihatnya, Do Ran yang menelepon.
“Ya, Do Ran? Ayahmu sudah siuman?” tanyanya.
“Bukan itu. Aku ada urusan mendesak. Aku ingin tahu apa Bibi bisa datang. Aku resah meninggalkannya sendiri.”
“Tentu saja bisa. Aku akan mengemas barang-barang dan ke sana.”
“Hong Joo, kamu mau ke mana selarut ini?” tiba-tiba Hong Shil muncul.
“Aku mau ke rumah sakit menjenguk Pak Kang.”
“Sekarang? Kamu sudah pergi tadi siang. Kamu pergi lagi? Putrinya merawatnya semalaman.”
“Do Ran ada urusan mendesak. Jangan menungguku dan tidurlah. Aku akan bermalam di rumah sakit.” kata Hong Joo.
“Astaga. Aku harus bagaimana dengannya? Apa yang dia pikirkan?”
***
“Kurasa begini bisa, Do Ran.” kata Dae Ryook sambil memotong gambar pak tua itu lewat editor gambar. Lalu memasukkan foto itu ke ponsel mereka.
Mulailah mereka mencari.
“Permisi, pernahkah kamu melihat pria ini?” tanyanya sambil menunjukkan foto pak tua itu.
“Aku tidak tahu.” jawab seorang tunawisma enggan karena merasa tidurnya terganggu.
Mereka terus bertanya, di lorong yang biasa digunakan pak tua itu untuk tidur. Banyak dari mereka yang tidak tahu. Sampai kemudian,
“Aku tahu pria ini. Dia sudah cukup lama tidak kemari. Kudengar ada yang melihatnya di Taman Tapgol.”
“Di Taman Tapgol?” tanya Do Ran.
“Dia ayah berandal itu.”
“Terima kasih.”
Mereka segera beranjak dari sana.
Sementara itu, mak Lampir gelisah di rumah.
“Astaga. Apa Dae Ryook bersama Do Ran lagi hari ini?”
Segera ia menelpon Dae Ryook. Panggilannya tidak diangkat.
“Dae Ryook. Dia pasti bersama Do Ran lagi hari ini. Apa yang harus kulakukan dengannya?”
Tiba-tiba Da Ya muncul di situ.
“Ibu sedang apa di kamar gelap ini? Kak Dae Ryook belum pulang?”
“Da Ya. Ambil kunci mobil.”
“Kenapa, Bu?”
“Bawa ibu ke rumah sakit. Ibu harus berurusan dengannya. Ibu tidak bisa membiarkan ini.”
Sampai di rumah sakit, ia melihat Hong Joo tertidur di dada Pak Kang.
“Hong Joo…”
Hong Joo terbangun, “Mbak Eun Young, kenapa kemari selarut ini?”
“Di mana Do Ran? Kenapa kamu di sini?”
“Do Ran sibuk hari ini, jadi, aku yang mengurus Pak Kang. Ada apa?”
“Do Ran pergi ke mana? Mungkinkah dia bersama Dae Ryook?”
“Entahlah. Eun Young. Apa kamu khawatir mereka sedang bersama?”
“Jangan bertanya. Ini bukan urusanmu.”
“Do Ran. Aku akan memeriksa di belakang. Lihatlah sekeliling sekali lagi.”
Do Ran berjalan. Saat itulah ia melihat pak tua itu.
“Ahjussi!” teriakan Do Ran membuat Dae Ryook menoleh. Ia juga melihat pria itu.
“Ahjussi!”
Melihat Do Ran dan Dae Ryook, pak tua itu langsung berlari kabur. Do Ran segera mengejar, diikuti Dae Ryook.
“Ahjussi!”
“Ahjussi!”
Pak Tua itu terus berlari. Kejar-kejaranpun terjadi. Sampai akhirnya, pak tua itu menemui jalan buntu. Tembok kawat tinggi ada di depannya. Tak mungkin ia bisa melompat.
“Ahjussi! Kenapa Anda kabur?” tanya Dae Ryook.
“Siapa bilang aku kabur? Aku hanya sedang berlari.” elaknya.
“Ahjussi, Anda mengenalku, bukan? Aku putri pemilik toko kue. Kami sudah mencarimu ke mana-mana.”
“Kenapa kamu mencariku?”
“Maaf, Pak. 28 tahun yang lalu…”
“Aku tidak mau membahas itu lagi.” sahutnya cepat.
“Aku sudah melihat referensi dan catatan persidangan kasus itu. Tapi ada yang mencurigakan. Anda tahu benar soal insiden itu.” kata Dae Ryook
“Ahjussi, Tolong beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Anda sungguh melihat ayahku membunuh? Ahjussii… Tolong beri tahu yang sebenarnya.”
“Dia membunuhnya! Kim Young Hoon pembunuh! Aku melihatnya! Ayahmu membunuhnya! Aku melihatnya sendiri! Ayahmu membunuh seorang pria dan dia pembunuh!” kata pak tua itu berteriak.
Mendengar ini, Do Ran hampir terjatuh. Dae Ryook segera memegangnya, “Do Ran…”
“Ahjussi, Anda yakin?” tanya Dae Ryook
“Ya, aku yakin. Kamu kira aku berbohong? Hanya karena aku hidup seperti pengemis, bukan berarti kalian berhak meremehkanku! Jangan mencariku lagi!”
Setelah berkata demikian, pak tua itu pergi.
“Ahjussi! Tunggu!” Dae Ryook bermaksud mengejar.
“Dae Ryook, berhentilah.”
Do Ran menangis sedih lagi. Dae Ryook segera mendekatinya.
“Do Ran. Mari pergi dahulu…”
Mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Pak tua itu bicara seorang diri, “Hidupku sudah berakhir. Maaf. Aku akan masuk neraka setelah mati. Tapi aku tidak akan pernah bisa menjadikan putraku putra pembunuh. Maaf…”
Ia menangis.
***
Mak Lampir keluar dari rumah sakit. Ia langsung berjalan dan masuk ke mobilnya.
“Kenapa Ibu kembali sendiri? Kakak tidak di sini?” tanya Da Ya.
“Tidak. Do Ran juga tidak ada. Hanya ada bibimu di kamarnya.”
“Bibiku? Apa artinya kini mereka bersama?” tanya Da Ya.
“Tidak mungkin.”
“Dae Ryook tidak seceroboh itu. Ayo pulang dahulu. Kita menghabiskan waktu dengan datang kemari.”
Belum sempat mereka beranjak, sebuah mobil putih melintas dan berhenti di depan mereka.
“Ibu, bukankah itu mobil Kak Dae Ryook?”
“Astaga. Ibu tidak mengira, tapi mereka sungguh bersama?”
“Hati-hati di jalan.” kata Do Ran
“Apa yang mereka lakukan? Ibu tidak akan membiarkan ini.” Mak Lampir beranjak ingin keluar dari mobil.
Da Ya mencegahnya, “Ibu, tenanglah. Jika Ibu membuat keributan sekarang, Kak Dae Ryook akan mengamuk dan makin menempel kepada Do Ran.
“Apa? Dasar bodoh. Tidak ada yang bisa disukai dari wanita itu. Astaga, lihat dia. Dia memberikan pandangan menyedihkan dan Dae Ryook merasa terlalu bersalah untuk pergi. Sungguh licik. Kenapa ibu tidak bisa melepaskan lintah itu dari anak ibu?”
“Ibu, tidak bisa begini. Kita pulang saja dahulu.” kata Da Ya.
“Tidak, ibu tidak bisa pergi seperti ini. Ibu akan memberi mereka pelajaran.” Mak Lampir mau keluar lagi dari mobil. Kembali Da Ya mencegah.
“Ibu, tenanglah. Kata Ibu, Bibi juga ada di sana. Urus saja diam-diam nanti.”
“Apa? Benar juga, kamu benar. Apa yang harus ibu lakukan dengan Dae Ryook?”
“Do Ran. Kamu tidak harus kemari. Aku bisa menemaninya.”
“Bibi Na…” kata Do Ran setengah terisak.
Melihat ini Hong Ju heran, “Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak… Aku amat bersyukur Bibi selalu menemani ayahku. Terima kasih.”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan yang harus kulakukan. Jangan cemas. Aku akan tetap menemaninya.”
“Bibi Na…” Do Ran mengambur memeluk Na Hong Joo.
“Sudah … Tidak apa-apa…” kata Hong Joo menenangkannya.
***
Esok harinya, Do Ran sedang ada di pinggir ranjangnya menemani ayahnya yang masih belum sadar. Tiba-tiba pintu bergeser dan Mak Lampir masuk.
“Ibu…”
Mak Lampir dengan tampang kejam langsung berjalan mendekat dan … “Plakk!!”
Ia menampar pipi Do Ran. Tentu saja Do Ran terkejut. Yang tidak mereka sadari, saat pipi Do Ran kena tampar, Pak Kang yang tertidur terlihat bereaksi seperti ikut merasakan.
“Ibu…” katanya.
Mak Lampir jadi sinis, “Ibu? Aku bukan ibumu. Kenapa kamu tidak bisa menjaga perilakumu selagi aku baik?”
“Kenapa Ibu melakukan ini kepadaku?”
“Kenapa? Kamu tahu kenapa. Aku melarangmu menemui putraku. Aku menyuruhmu mengusirnya jika dia kemari lagi. Tapi kamu malah memanggil putraku setiap malam dan memakai ayahmu yang sakit sebagai alasan. Kamu membuatnya memeluk dan menghiburmu setiap malam. Apa yang kamu rencanakan? Apa kamu ini lintah? Kenapa kamu tidak mau melepaskan putraku?”
Do Ran tertegun dan menundukkan mukanya,”Itu…”
“Dae Ryook harus mengencani putri pemilik Grup JS. Jadi, kenapa kamu menghalanginya? Kamu mau makin menghancurkan hidupnya? Itu yang kamu mau? Aku bilang tidak akan merestuimu walaupun kamu melangkahi mayatku. Aku tidak mau bertindak sejauh ini, tapi kamu putri pembunuh. Jika punya nurani sedikit saja, kamu tidak akan melakukan ini.”
Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Mak Lampir benar-benar tajam dan amat menyakitkan hati Do Ran. Ia makin tertunduk … menangis …, “Maaf. Aku tidak akan melakukan ini lagi. Aku tidak akan menemuinya lagi.”
“Kamu sebaiknya menepati janjimu. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika kamu menemuinya lagi. Kamu mengerti?”
Mak Lampir berjalan seperti akan pergi. Tapi ia berbalik dan berkata, “Jangan membenciku. Itu semua karena ayahmu yang tidak sadarkan diri. Bencilah dia. Paham?” katanya. Ia segera membuka pintu dan pergi.
Di luar, Tae Pung berdiri mematung melihat kepergian Mak Lampir. Dia hanya memandang Do Ran yang terduduk di kursi sambil menangis terisak-isak. Tae Pung mendengar semua perkataan Mak Lampir tadi kepada Do Ran. Ia bisa memahami, hati Do Ran pasti sakit. Tae Pung segera berbalik dan mengejar Mak Lampir.
“Bibi!” panggilnya.
“Hei, Bi!”
“Apa kamu baru saja memanggilku bibi?”
“Ya, Anda.”
“Lancang sekali. Kamu tidak tahu aku siapa?” Mak Lampir sewot.
“Kenapa Anda terus datang dan memperlakukannya dengan buruk padahal dia sudah bercerai? Apa putra Anda tahu soal perilaku Anda ini?” kata Tae Pung.
“Siapa kamu sampai ikut campur?” Mak Lampir ingat, “Bukankah kamu pekerja paruh waktu di toko kue? Sadari tempatmu, Bedebah.” teriak si Mak.
“Bibi. Jika Anda mengasari Do Ran dengan ucapan atau tindakan lagi, aku tidak akan menoleransinya.” kata Tae Pung mulai kesal juga.
“Memangnya kenapa kalau begitu? Ini bukan urusanmu.”
“Kamu menyukainya, begitu? Bagus. Kalian akan menjadi pasangan yang sempurna. Semoga berhasil.!”
Mak Lampir segera pergi. Tae Pung hanya diam saja. Kesal juga dengan sikap si Mak.