Sinopsis Drama Korea Hotel Del Luna Episode 3 Part 1
|Agak telat bikin sinopsisnya. Tapi mari kita lanjut ke sinopsis drama Korea Hotel Del Luna Episode 3 Part 1. Kali ini, saya harus buat per bagian aja. Man Wol berdiri di depan pohon besar dengan ranting kering tanpa daun. Ia masih teringat dengan pertanyaan Ko Chan-sung.
“Apa kau masih hidup? Atau sudah mati?”
Dan dia hanya menjawab, “Aku… hanya ada. Aku tak hidup atau pun mati. Aku terjebak. Aku terkurung di zona waktu yang tak akan pernah bisa dikembalikan.”
Tiba-tiba Man Wol teringat akan sebuah kenangan.
Saat itu, ia dan sekutunya sedang menunggu sebuah rombongan, untuk … dirampok. Ia yang menjadi pemimpin mengenakan cadar. Ia meniup semacam peluit sebagai tanda pasukan yang dipimpinnya untuk menyerang rombongan itu. Belasan orang di belakanganya berhamburan menyerbu sebuah rombongan yang baru saja tiba. Pertempuranpun terjadi.
Di sinilah wajah Lee Joon-gi muncul. Haha.. Berperan sebagai salah satu teman Man Wol, ia bertempur dengan pemimpin rombongan itu. Sepertinya, Joon-gi (saya belum tahu karakter yg dimainkannya..) akan kalah. Melihat ini, Man Wol segera mengambil panahnya, dan membidikkannya ke arah lawan Joon-gi, si pemimpin rombongan. Rupanya kapten rombongan itu melihat hal ini. Ia bisa menangkis panah yang ditembakkan Man Wol.
Man Wol segera meniup peluitnya lagi. Tanda bahwa ia menyuruh anak buahnya pergi. Benar saja! Mendengar peluit ini, anak buahnya segera berhamburan pergi, membawa hasil rampokan. Termasuk Joon-gi yang segera meninggalkan lawannya. Si kapten melihat ke arah Man Wol yang ada di puncak sebuah bukit kecil. Melihat Man Wol pergi, kapten ini segera mengejarnya. Kejar-kejaranpun terjadi.
Si Kapten berhasil mengejar Man Wol dan menjatuhkannya dari kuda. Ia segera meringkusnya. Si Kapten lalu membuka paksa cadar penutup yang dipakai. Dan ia terpana. Ternyata, pemimpin rampok ini adalah seorang wanita. Cantik lagi.
Terpana dengan kecantikan tangkapannya, ia jadi bengong. Man Wol melihat ini dan kebetulan, tangannya bisa meraih batu sebesar kepalan tangan, di sebelah tempatnya jatuh. Segera saja ia raih dan menghantamkan batu itu ke kepala kapten itu.
Kapten itupun jadi sandera.
“Kau pemimpin komplotan, bukan? Kau biang keladinya.”
Man Wol mengacuhkannya.
“Hei. Kalian bandit dari Desa Gaori, bukan? Artinya kalian pengembara dari Goguryeo. Kau mengerti maksudku, bukan? Hei!”
“Berisik.” kata Man Wol tanpa menoleh.
“Aku juga dari tempat yang sama. Halo, Hyeongje (형제/Hyeongje: Saudara laki-laki). Atau “Nui” (누이: Saudara perempuan)?
“Nui”? tanya Man Wol sambil menoleh dan tersenyum mengejek.
“Nui.” jawab kapten
“Kenapa kau tak bebaskan aku?”, lanjutnya.
Mendengar pertanyaan ini, Man Wol melambatkan kudanya. Kakinya yang kecil menendang si kapten yang duduk di kuda, hingga jatuh bergulingan.
“Aku hanya prajurit kelas rendah yang ditugaskan mengawal majikanku. Jadi, kau tak akan dapat banyak uang dengan menyanderaku.”
“Aku tahu cara dapatkan uang.” kata Man Wol.
“Apa?” tanya si kapten.
“Wanita bangsawan yang tak peduli kehilangan sutranya tampak sangat peduli tentang sesuatu yang lain.” kata Man Wol sambil melirik si kapten.
“Kelihatannya kau tak hanya mengawal perjalanan wanita itu.”
“Aku bicara dengannya beberapa kali agar dia tak bosan dalam perjalanan. Tapi karena aku pria tampan… Sepertinya rasa itu datang padahal aku hanya bicara dengannya.” jawab si kapten yang tampaknya mengerti maksud Man Wol.
“Wajahmu pasti hasilkan banyak uang.” kata Man Wol.
“Tak bisakah kau lepaskan aku saja? Jika tangan dan kakiku bebas, aku bisa bujuk dia lebih baik,” katanya lagi.
“Jika kupotong lidahmu karena bicarakan omong kosong, akankah harga wajahmu jatuh?” jawab Man Wol gemas dengan sandera yang berisik ini.
“Bisa-bisanya kau bicara menakutkan?”
Di saat yang sama, tiba-tiba kuda Man Wol ngeloyor pergi.
“Sial!” gerutu Man Wol sambil berlari mengejar kudanya.
Karena hal ini, Man Wol menjadi tidak waspada. Ia tidak tahu bahwa kuda itu berlari ke area pasir hisap. Baru setelah melihat kudanya hilang ditelan pasir, Man Wol sadar posisinya. Ia pun mulai terhisap pasir. Man Wol jadi panik. Tubuhnya terus saja masuk. Ia melemparkan cadarnya yang panjang.
“Tarik aku!” teriaknya. Sedang apa? Kau tak dengar aku?”
“Bagaimana kubantu kau selagi kau berbicara? Jika tangan dan kakiku bebas, aku bisa membantumu. Lemparkan pedangmu.” katanya
“Jangan bergerak. Jika bergerak, kau akan dihisap lebih cepat. Lemparkan pedangmu.” kata si kapten.
Man Wol dengan terpaksa melemparkan pedangnya. Si kapten segera menggunakan pedang itu untuk melepaskan ikatannya. Lalu … ia pergi.
“Kemana… Mau kemana kau? Kembali!” teriak Man Wol histeris.
Man Wol segera menyesal telah menyerahkan pedangnya. Ia berusaha bertahan agar tidak terhisap. Beberapa saat berlalu … tiba-tiba seutas tali terlempar kepadanya. Man Wol mendongak. Ia lihat si kapten lagi.
“Tarik. Segera!” teriak si kapten.
Akhirnya Man Wol bisa keluar dari pasir hisap.
“Kau sanderaku sekarang.”
“Hargaku jauh lebih tinggi daripada harga wajah prajurit kelas rendah.”
“Sebenarnya, aku bukan prajurit kelas rendah. Wanita yang kukawal adalah putri Kastil Yeongju. Dan aku adalah kapten prajurit.”
Tiba-tiba saja sesuatu dilempar mengenai kepala si kapten. Sebuah batu ternyata. Si kapten ambruk. Pingsan. Dibelakangnya, terlihat “Joon-gi”, sambil tertawa dan melempar-lemparkan batu kecil di genggamannya.
Man Wol tertawa. Ia menendangi tubuh si kapten yang pingsan.
***
“Apa kau lihat bulan yang muncul hari ini? Atau bulan yang muncul seribu tahun yang lalu?” tiba-tiba nenek Mago ada di dekatnya.
“Mereka adalah satu dan sama.” jawab Man Wol
“Bunga-bunga di taman berbunga cerah. Kau pasti merawat tamumu dengan baik di Sanggarloka Del Luna.” si nenek bicara lagi.
“Aku sudah mengubah nama tempat ini. Bukan Sanggarloka. Ini Hotel Del Luna. Berhentilah memanggilku pengurus. Aku pemilik,” kata Man Wol sewot.
Sambil tersenyum ngenyik, nenek Mago berkata, “Pemilik juga sama saja. Rupanya manusia yang melayanimu sudah pergi. Saat dia meninggal, dia akan direinkarnasi kembali.”
“Aku juga mati. Kenapa mereka tak membawaku?” tanya Man Wol dengan tatapan kosong.
“Kau tak mati. Aku bilang kau terikat pada Pohon Bulan, dan aliran hidup dan mati sudah berhenti untukmu,” si nenek jawab cepat.
“Berapa lama kau akan membuatku terikat?” tanya Man Wol.
“Kaulah yang tak mengalah.” kata si nenek.
“Aku mati kering dan layu. Jika kau potong dan membakarnya, aku akan mengerti.” kata Man Wol
“Daun bertunas, serta bunga bermekaran dan gugur. Waktu hidup dan mati akan berjalan sekali lagi. Bukankah kau tak seharusnya meninggalkan sesuatu secantik ini?” tanya nenek.
“Aku tak punya pernak-pernik seperti itu untuk ditinggalkan. Kenapa kau tak memilih bunga-bunga cerah dan mengirim semua itu ke arwah-arwah yang malang?”
Man Wol pergi setelah mengucapkan kata-kata itu. Nenek Mago hanya melihatnya sambil berkata,”Anak itu masih tak mengerti”.
Ia lalu berjalan mendekati pohon besar itu,”Aku tak bisa meninggalkanmu seperti ini selamanya.”
Tangannya menyentuh ranting kering itu. Tiba-tiba sekuntum bunga langsung mekar karena sentuhannya…